MASUK

Kamis, 17 Maret 2011

DEMI WAKTU

“BARANG SIAPA YANG TIDAK MENYIBUKKAN DIRI DALAM KEBAIKAN NISCAYA IA AKAN DISIBUKKAN DALAM KEBURUKAN.”
Anugrah waktu
Waktu adalah momentum untuk berprestasi. Demi masa, demikian Allah bersumpah. Bukan main-main tentunya, karena Allah menegaskan setelah bahwa sesungguhnya manusia pasti akan merugi kalau tidak memperhatikan waktu, kecuali 4 golongan :
1. Orang yang beriman
2. Orang yang beramal shalih
3. Orang yang menasihati dalam kebenaran
4. Orang yang menasihati dalam kesabaran
Sebagaimana firman Allah dalam Al-ashr ayat 1-3:
“demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menaati kesabaran.”
Menyikapi ayat ini, Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “seandainya manusia memahami ayat ini cukuplah agama ini baginya....” apa maksudnya? Surat ini merupakan intisari bahwa hidup adalah kumpulan waktu. Yang tak mampu menggunakan waktu dialah orang yang dijamin bakal rugi, persis orang yang sudah mati. Karena hidupnya seperti mayat yang beku, hidup tak sopan mati bikin bau.
Rasulullah saw bersabda, “Ada dua nikmat, dimana banyak orang yang tertipu dengan keduanya: nikmat sehat dan waktu luang”.(HR. Bukhari dari Ibnu Abbas)
Waktu adalah kunci sukses kita. Dalam buku tarbiyah dzatiyah kiat sukses manajemen diri, hal ini telah penulis bahas tuntas dengan pernak-perniknya. Mengambil inspirasi dari telaah Imam Syafi’i atas surat AlAshr ini plus pengalaman beliau dalam mengoptimalkan waktu, kita lejitkan potensi biasa dengan prestasi luar biasa. Kuncinya adalah memberdayakan waktu, memberdayakan sarana, menemukan momentum, melahirkan ide segar, kerja dengan benar tuk hasilkan karya besar.
Menurut nabi, rata-rata umur ummatnya sekitar 60 tahun. Semua orang hidup 24 jam sehari, tak lebih dan tak kurang. Yang membuat lebih adalah kemampuan orang memanfaatkan waktunya untuk melakukan berbagai hal yang maksimal, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Kalau dihitung, masing-masing waktu kita sama : 60 detik dalam 1menit, 60 menit dalam 1jam, dan 24jam sehari, 7hari sepekan dan seterusnya. Namun kata Imam Al Ghazali, kalau orang umurnya 60 tahun –rata-rata- dan menjadikan 8jam sehari untuk tidur, maka dalam 60 tahun ia telah tidur 20tahun. Dan itulah kebanyakan menusia, apakah termasuk kita? Wallahu a’lam bish shawab.
Ada tiga hal yang tak pernah kita dapatkan kembali :
1. Kata yang telah terucap
2. Waktu yang telah lewat
3. Momentum yang diabaikan
Waktu adalah momentum untuk berprestasi. Sebagaimana Umar bin Abdul Aziz menyikapi. Saat beliau diangkat khalifah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik. Dengan niat tulus dan suci, dengan jiwa yang kokoh dan bersih, dengan tekad yang membara, ia pikul kekhalifahan yang ia rindukan itu.. ia mengatakan, “aku akan duduk di sebuah tempat yang tidak kuberikan sedikit pun tempat untuk syaitan.”
Hal ini sebagaimana kebesaran kakeknya Umar bin Khathab ra. Tidaklah sebuah tempat dilalui oleh Umar bin Khathab kecuali syaitan pasti menyingkir darinya. Ini karena kekuatan dahsyat, inner power yang dimilikinya mampu menggetarkan musuh-musuh Allah. Keimanan, ketulusan, kemauan untuk belajar dan berubah secara revolusioner.
Waktu kita sedikit.....
Imam Syahid Hasan Al-Banna mengatakan,
“ketahuilah, kewajiban itu lebih banyak daripada waktu yang tersedia, maka bantulah saudaramu untuk menggunakan waktunya dengan sebaik-baiknya dan jika anda punya kepentingan atau tugas selesaikan segera.”
Perkataan ini menggambarkan betapa sedikitnya waktu kita dibandingkan dengan “pekerjaan besar” yang harus dikerjakan, amanah mulia yang harus ditunaikan, obsesi besar yang mesti direalisasikan. Akan halnya kita, kadang ttak merasa memiliki sebuah kewajiban sehingga kadang tak merasa memiliki sebuah kewajiban sehingga banyak waktu yang dibuang-buang. Kesempatan dilelang, momentum ditendang, nasihat ditentang, sehingga kebaikan pun melayang. Ironisnya kita sering beralasan dan mengeluh karena banyaknya beban tak mampu menunaikan kewajiban, lalu waktulah yang disalahkan. Padahal itu terjadi lebih karena kita tak menata waktu dengan cermat, suka menunda-nunda pekerjaan sehingga tak mampu menolong diri sendiri apalagi membantu orang lain.
Menurut Hasan Al bashri, waktu hanya ada tiga. Waktu kemarin yang sudah bukan milik kita lagi. Esok hari yang belum tentu kita punyai. Dan sekarang yang ada di tangan kita.
Sadarilah bahwa waktu kita sedikit. Imam Sofyan Ats Tsauri mengatakan. Sesungguhnya aku sangat menginginkan satu tahun saja dari seluruh usiaku seperti Ibnu Mubarak. Tapi aku tak mampu melakukannya. Bahkan dalam tiga hari sekalipun.”
Mengapa Sofyan Ats Tsauri mengatakan hal itu? Padahal ia adalah ulama yang terkenal luar biasa dalam beribadah sampai-sampai ada salah seorang salaf di zamannya yang mengatakan, “Sofyan itu di zamannya seperti Abu Bakar dan Umar di zamannya.”
Begitulah cara salafus shalih memandang berharganya waktu dalam kehidupannya, menyadari sedikitnya kesempatan yang tersedia untuk bisa memperbanyak ibadah kepada Rabbnya. Mereka berlomba-lomba di zamannya untuk menjadi yang terbaik. Berprestasi untuk mengukir amal mulia. Bekerja keras untuk merintis amal unggulan. Berfikir cerdas untuk mempelopori kebaikan.
Kebiasaan manusia-manusia besar adalah mengurangi jam tidurnya, waktu bekerja dan kesibukan mengurusi duniawi untuk memenuhi kebutuhan ukhrawi. Mereka menyedikitkan waktu tidur untuk bisa bangun malam. Mereka sedikit bercanda untuk meresakan nikmatnya ibadah. Mereka tidak berlebihan dalam bergaul untuk meresakan lezatnya iman. Mereka menahan diri dari maksiat agar tubuhnya tetap sehat.
Ibnu Rajab berkata,” Barang siapa yang memelihara ketaatan kepada Allah dimasa muda dan masa kuatnya, maka Allah akan memelihara kekuatannya disaat tua dan saat kekuatannya melemah. Ia akan tetap diberi kekuatan pendengaran, penglihatan, kemampuan berfikir dan kekuatan akal.”
Ibnu Rajab lalu menceritakan, ada sebagian ulama yang usianya melewati 100tahun tetapi tetap kuat dan tajam pikiran serta daya ingatnya. Ia bahkan masih tegap berjalan dan mampu meloncat. Salah seorang dari mereka mengatakan.”Anggota tubuh ini dahulu kami pelihara dari kemaksiatan, maka Allah memeliharanya untuk kami dikala kami tua.”
Dalam kitab Thabaqat Asy-Syafi’iyah oleh Imam As-Subukiy juz3 hal219 disebutkan bahwa Imam Al-Imam Az-Zahid Syaikh Abdul Baqi bin Yusuf mengatakan,” Aku lebih mencintai duduk sejenak dimasjid ini daripada menjadi raja Iraq.”
Dan dalam kitab Wafayatul A’yar Ibnu Khalkan juz2 hal401 disebutkan bahwa Imam Al-A’masyi diberi umur panjang 70tahun. Dan ia tidak pernah ketinggalan takbiratul ikhram shalat jamaah. Perawi menjelaskan,”saya bergaul dengan beliau lebih dari 60tahun. Belum pernah aku melihatnya satu rakaat karena ketinggalan atau masbuk.
Karena waktu kita sedikit, kesempatan yang ada didunia ini begitu sempit, mengapa kita tidak mengoptimalkannya untuk menjadi bekal dimasa-masa sulit dihari dimana tiada lagi berguna harta dan anak-anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Mengapa kita tidak menyiapkan hari yang tiada lagi naungan kecuali naungan-Nya?
Sering hilangnya kesempatan dari diri kita, lenyapya momentum dari depan kita karena iman tak lagi menyala. Hatinya tideak sensitif menangkap sinyal kebaikan. Karen hati itu seperti power control yang menggerakkan. Seperti remote yang memberi komando. Sepeti raja yang memerintah. Anak buahnya adalah seluruh anggota tubuhnya yaitu: mata, telinga, tangan, kaki, mulut, dan sebagainya. Tentunya kalau ‘top leader”-nya tidak sensitif, tidak memerintahkan, tentunya anak buah tak bisa dan berani bergerak. Karena itulah agar top leader tadi bisa sensitif, maka seluruh anak buah harus kompak ....
Setiap orang memiliki waktu, menggunakan atau menghempaskannya, membiarkan berlalu tanpa tekanan pasti. Setiap orang memiliki waktu sebagai rangkaiaan detik demi detik mengumpul menjadi menit mengumpul menjadi jam, hari, bulan, dan tahun tanpa terasa.
Dari uraian diatas sebenarnya manusia sadar akan keberadaan waktu, namun mengapa kesadaran itu hanya muncul dimulut, tidak dihati, perasaan, akal dan pikiran?
Waktu adalah sesuatu yang abstrak tidak terjamah oleh tangan dan kondisi fisik namun memiliki peran dominan dalam kehidupan manusia. Setiap manusia diberi jatah waktu yang sama, dalam sehari 24jam, terlepas apakah jatah tersebut dianggap cukup atau kurang. Kebijaksanaan ini merupakan anugrah dan tidak ada yang perlu dikeluhkan karena tuhan menciptaberdasarkan pertimbangan tanpa cela.
Semua dari kita sudah pasti memiliki keinginan banyak dalam hidup. Tapi ternyata banyak yang tidak terealisasi dengan berbagai alasan padahal tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baru. Ini bisa saja terjadi kaena pembuangan waktu sia-sia untuk urusan yang tidak penting.
Ada sebuah peringatan dalam bukunya (Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Al Waqtu fi Hayatil Muslim, hlm.13)
Orang yang melewati satu hari dalam hidupnya tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardhu yang ia lakukan atau kemuliaan yang ia wariskan atau kebaikan yang ia tanamkan atau ilmu yang ia dapatkan, maka ia telah durhaka kepada harinya dan menganiaya terhadap dirinya.
Jangan ada kekosongan dalam hidup kita, karena kekosongan bisa membinasakan.
Ada tiga macam kekosongan yang kita harus senantiasa waspada :
1. Kekosongan akal
2. Kekosongan hati
3. Kekosongan jiwa
Umar bin Khathab berkata:
“kalau aku tidur disiang hari berarti aku menyia-nyiakan hak rakyat atas diriku. Dan kalau aku tidur malam hari berarti aku menyia-nyiakan hakku untuk beribadah kepada Rabbku.”
Lalu, kapan tidurnya???
Para salafush-shalih memiliki keistimewaan dalam cara membagi dan mengisi waktu untuk aktifitas tertentu.
Imam Malik :
Ini cara unik ulama dalam meluarbiasakan diri. Beliau menyedikitkan waktu tidurnya untuk menggali ilmu dan menorehkannya guna diwariskan untuk umat sepanjang zaman. Ibnul Qosim, seorang ulama fiqh mesir yang wafat tahun 191 H mengisahkan, “Aku pernah mendatangi Imam Malik sebelum waktu fajar. Aku tanyakan dua masalah, tiga masalah atau empat masalah, dan saya melihatnya benar-benar dalam suasana lapang. Kemudian saya mendatanginya hampir setiap waktu sahur. Terkadang karena lelah, mataku terkatup dan aku tertidur. Ketika Imam Malik keluar ke masjid aku tidak mengetahuinya. Kemudian aku dibangunkan oleh pembantunya seraya mengatakan, “Gurumu tidak tertidur seperti kamu, padahal saat ini usianya telah mencapai 49 tahun.”
Metode Imam Syafi’i :
Imam Syafi’i rahimahullah membagi waktu malamnya menjadi tiga yakni sepertiga pertama untuk menulis Ilmu, sepertiga kedua untuk shalat malam, dan sepertiga ketiga untuk tidur.
Metode Abu Hurairah
Abu Hurairah ra dan keluarganya meghidupkan waktu malamnya menjadi tiga. Bedanya yang dibagi orangnya, semacam khirosah atau juga malam secara bergantian. Mula-mula ia berjaga sambil shalat sepetiga malam, kemudian dilanjutkan oleh istrinya sepertiga malam, dan sepertiganya lagi dimanfaatkan oleh putrinya. Dengan demikian tiada satu pun yang berlalu setiap malam di rumah Abu Hurairah melainkan berlangsung di sana ibadah, dzikir dan shalat.
Semoga ada hati yang tergugah, ada jiwa yang tersadar, ada kebuntuan yang terbuka, ada kegelisahan yang terobati, ada kemubadziran yang dimanfaatkan kembali dan aneka potensii yang dapat digali dan dioptimalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar