MASUK

Rabu, 02 Maret 2011

Beberapa Aliran Utama Filsafat Pendidikan

Sekolah atau lembaga pendidikan pada umumnya adalah sarana bagi proses pewarisan maupun transformasi pengetahuan dan nilai-nilai antar generasi. Dari sini dapat terpahami bahwa pendidikan senantiasa memiliki muatan ideologis tertentu yang antara lain terekam melalui konstruk filosofis yang mendasarinya. Kata Roem Topatimasang, sekolah memang bukanlah sesuatu yang netral atau bebas nilai. Sebab tak jarang dan seringkali demikian, pendidikan dianggap sebagai wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai-nilai yang nyatanya sekedar yang resmi, sedang berlaku dan direstui bahkan wajib diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran resmi yang seragam pula. Dinamika sistem pendidikan yang berlangsung di Indonesia dalam berbagai era kesejarahan akan menguatkan pandangan ini, betapa dunia pendidikan memiliki keterkaitan sangat erat dengan kondisi sosial-politik yang tengah dominan.
Sebuah bagan skematik dari William F. O’neil berikut ini kiranya dapat menunjukkan bagaimana nalar relasional antara filsafat dengan dunia pendidikan:
Ontologi
(Apa yang tertinggi yang bisa diketahui, dan
bagaimana kita bisa mengetahuinya [epistemologi, ny.]?)
>
Aksiologi
(Apakah kebaikan tertinggi itu?)
>
Teori Moral
(Apakah perilaku antarmanusia yang baik itu?)
>
Filosofi Politik
(Apakah organisasi sosial yang baik itu?)
>
Filosofi Pendidikan
(Pengetahuan macam apa yang diperlukan dan bagaimana semestinya ia ditanamkan?)
Lebih menarik kiranya jika perspektif O’neil yang menurunkan filsafat pendidikan dari filsafat politik ini dibaca dengan mencermati telaah H.A.R. Tilaar yang memandang titik tolak pedagogik dari tindakan pemanusiaan. Sehingga pendidikan tidak bisa dilepaskan dari filsafat manusia. Jadi, justru perbedaan persepsi tentang manusia inilah yang kemudian melahirkan berbagai aliran dalam dunia pendidikan.
Di dunia dikenal beberapa aliran utama filsafat pendidikan yang di antaranya dapat disajikan berikut ini:
1. Perennialisme
(a) Berhubungan dengan perihal sesuatu yang terakhir. Cenderung menekankan seni dan sains dengan dimensi perennial yang bersifat integral dengan sejarah manusia. (b) Pertama yang harus diajarkan adalah tentang manusia, bukan mesin atau teknik. Sehingga tegas aspek manusiawinya dalam sains dan nalar dalam setiap tindakan. (c) Mengajarkan prinsip-prinsip dan penalaran ilmiah, bukan fakta. (d) Mencari hukum atau ide yang terbukti bernilai bagi dunia yang kita diami. (e) Fungsi pendidikan adalah untuk belajar hal-hal tersebut dan mencari kebenaran baru yang mungkin. (f) Orientasi bersifat philosophically-minded. Jadi, fokus pada perkembangan personal. (g) Memiliki dua corak:
(1) Perennial Religius: Membimbing individu kepada kebenaran utama (doktrin, etika dan penyelamatan religius). Memakai metode trial and error untuk memperoleh pengetahuan proposisional. (2) Perennial Sekuler: Promosikan pendekatan literari dalam belajar serta pemakaian seminar dan diskusi sebagai cara yang tepat untuk mengkaji hal-hal yang terbaik bagi dunia (Socratic method). Disini, individu dibimbing untuk membaca materi pengetahuan secara langsung dari buku-buku sumber yang asli sekaligus teks modern. Pembimbing berfungsi memformulasikan masalah yang kemudian didiskusikan dan disimpulkan oleh kelas. Sehingga, dengan iklim kritis dan demokratis yang dibangun dalam kultur ini, individu dapat mengetahui pendapatnya sendiri sekaligus menghargai perbedaan pemikiran yang ada.
2. Esensialisme
(a) Berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya tentang dunia dimana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya. (b) Menekankan data fakta dengan kurikulum yang tampak bercorak vokasional. (c) Konsentrasi studi pada materi-materi dasar tradisional seperti: membaca, menulis, sastra, bahasa asing, matematika, sejarah, sains, seni dan musik. (d) Pola orientasinya bergerak dari skill dasar menuju skill yang bersifat semakin kompleks. (e) Perhatian pada pendidikan yang bersifat menarik dan efisien. (f) Yakin pada nilai pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri. (g) Disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang didiami serta tertarik pada kemajuan masyarakat teknis.
3. Progresivisme
(a) Suka melihat manusia sebagai pemecah persoalan (problem-solver) yang baik. (b) Oposisi bagi setiap upaya pencarian kebenaran absolut. (c) Lebih tertarik kepada perilaku pragmatis yang dapat berfungsi dan berguna dalam hidup. (d) Pendidikan dipandang sebagai suatu proses. (e) Mencoba menyiapkan orang untuk mampu menghadapi persoalan aktual atau potensial dengan keterampilan yang memadai. (f) Mempromosikan pendekatan sinoptik dengan menghasilkan sekolah dan masyarakat bagi humanisasi. (g) Bercorak student-centered. (h) Pendidik adalah motivator dalam iklim demoktratis dan menyenangkan. (i) Bergerak sebagai eksperimentasi alamiah dan promosi perubahan yang berguna untuk pribadi atau masyarakat.
4. Rekonstruksionisme
(a) Promosi pemakaian problem solving tetapi tidak harus dirangkaikan dengan penyelesaian problema sosial yang signifikan. (b) Mengkritik pola life-adjustment (perbaikan tambal-sulam) para Progresivist. (c) Pendidikan perlu berfikir tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu pendekatan utopia pun menjadi penting guna menstimuli pemikiran tentang dunia masa depan yang perlu diciptakan. (d) Pesimis terhadap pendekatan akademis, tetapi lebih fokus pada penciptaan agen perubahan melalui partisipasi langsung dalam unsur-unsur kehidupan. (e) Pendidikan berdasar fakta bahwa belajar terbaik bagi manusia adalah terjadi dalam aktivitas hidup yang nyata bersama sesamanya. (f) Learn by doing! (Belajar sambil bertindak).
5. Eksistensialisme
(a) Menekankan pada individual dalam proses progresifnya dengan pemikiran yang merdeka dan otentik. (b) Pada dasarnya perhatian dengan kehidupan sebagai apa adanya dan tidak dengan kualitas-kualitas abstraknya. (c) Membantu individu memahami kebebasan dan tanggung jawab pribadinya. Jadi, menggunakan pendidikan sebagai jalan mendorong manusia menjadi lebih terlibat dalam kehidupan sebagaimana pula dengan komitmen tindakannya. (d) Individu seharusnya senantiasa memperbaiki diri dalam kehidupan dunia yang terus berubah. (e) Menekankan pendekatan “I-Thou” (Aku-Kamu) dalam proses pendidikan, baik guru maupun murid. (f) Promosikan pendekatan langsung-mendalam (inner-directed) yang humanistik; dimana siswa bebas memilih kurikulum dan hasil pendidikannya.
6. Behavioral Engineering (Rekayasa Perilaku)
(a) Kehendak bebas adalah ilusi (Free-will is illusory). (b) Percaya bahwa sikap manusia kebanyakan merefleksikan tingkah laku dan tindakan yang terkondisikan oleh lingkungan. (c) Memakai metode pengkondisian sebagai cara untuk mengarahkan sikap manusia. (d) Pendidik perlu membangun suatu lingkungan pendidikan dimana individu didorong melalui ganjaran dan hukuman untuk kebaikan mereka dan orang lain.
Paradigma Pendidikan
5 02 2007
Saya ingin mengawalinya dengan apa yang saya pahami tentang pengertian pendidikan, yaitu pada hakikatnya merupakan sebuah upaya (proses) transformasi pengetahuan dan nilai kepada subyek didik mencakup totalitas aspek kemanusiaan sehingga menghidupkan kesadaran, sikap dan tindakan kritisnya terhadap seluruh fenomena yang terjadi di sekitarnya. Menurut Peter McLaren, “Pendidikan kritis menyatakan bahwa kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni atau tempat-tempat lainnya harus memiliki visi yang tidak berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tetapi didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu.” Lebih detil Konferensi Internasional I tentang Pendidikan Islam di Makkah tahun 1977 telah merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut : “Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh ummat manusia.”
Dalam masyarakat modern, menurut Shipman, fungsi pokok pendidikan tersimpul dalam tiga hal : Pertama, sosialisasi, yakni sebagai wahana integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, penyekolahan (schooling), yakni penyiapan anak didik untuk menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu di masyarakat dengan pembekalan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi. Ketiga, pendidikan (education), diartikan di sini sebagai penciptaan kelompok elit yang diharapkan akan memberi sumbangsih besar bagi kelanjutan program modernisasi. Sekolah ternyata memang bukan sesuatu yang netral atau bebas nilai. Ia terlanjur dianggap sebagai wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai-nilai yang nyatanya sekedar yang resmi, sedang berlaku dan direstui bahkan wajib diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran resmi yang seragam pula.
Pendapat ini dihadirkan lebih sebatas untuk menunjukkan bahwa pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan sistem dan struktur sosial yang melingkupinya. Pendidikan dapat berperanan penting untuk melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial (status quo) yang ada, juga dapat pula menjadi proses bagi perubahan sosial yang lebih adil. Rahardjo et.al. menyatakan bahwa “peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya.” Karena itu untuk memahami model suatu proses pendidikan dan memproyeksi implikasi dan hasilnya baik secara individu atau kolektif, maupun untuk memahami realitas sosial secara umum, dapat dilakukan dengan mengkaji pilihan paradigma yang dijadikan dasar bagi institusi pendidikan generasinya.
Dari sini dapat diasumsikan bahwa konsepsi-paradigmatik seorang mahasiswa (peserta didik) mengenai sesuatu hal, sedikit banyak ada relasinya dengan pola paradigma yang dianut dalam proses pendidikan yang diikutinya. Dan jika hal ini dibaca dari bawah, maka pola paradigma yang dianut dalam suatu proses pendidikan akan berelasi dengan pemolaan konsepsi-paradigmatik peserta didiknya. Giroux & Aronowitz melihat paradigma pendidikan dalam analisisnya dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) aliran :
Pertama, Paradigma Konservatif. Paradigma ini memandang bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami yang mustahil bisa dihindari karena sudah menjadi ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Pada awal perkembangannya, aliran ini berkeyakinan bahwa masyarakat tidak bisa merencanakan atau mempengaruhi perubahan sosial. Tapi selanjutnya lebih cenderung menyalahkan subyeknya. Jadi, mereka yang menderita, miskin, buta huruf, tertindas, atau dipenjara adalah karena salah mereka sendiri. Paradigma ini lebih mementingkan harmoni dalam masyarakat dan menghindari konflik atau kontradiksi.
Kedua, Paradigma Liberal. Memandang tidak ada kaitannya antara pendidikan dengan persoalan politik atau ekonomi masyarakat. Meskipun pada akhirnya pendidikan harus berusaha menyesuaikan dengan keadaan ekonomi dan politik yang ada. Jadi, sebagaimana pandangan fungsionalisme struktural, pendidikan adalah sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat, media untuk sosialisasi dan reproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Ketiga, Paradigma Kritis / Radikal. Pendidikan disini dilihat sebagai aktivitas refleksi kritis terhadap ideologi dominan dengan pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas ke arah transformasi sosial yang lebih adil. Karenanya, pendidikan tidak mungkin bersikap netral, obyektif, maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti lazimnya anjuran positivisme.
Penjabaran implikasi rumusan pola paradigma pendidikan ini akan lebih kuat jika dikaitkan dengan analisis Paulo Freire tentang kesadaran seperti terurai di bawah ini.
Dalam menjelaskan proses dehumanisasi, sebuah konsep kunci dalam teori pendidikan pembebasannya, Paulo Freire menyajikan analisis tentang kesadaran dan pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Kesadaran tersebut menurutnya ada 3 (tiga) macam :
Pertama, kesadaran magis (magical consciousness). Yakni suatu tingkat kesadaran yang belum mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Semisal kaitan antara kemiskinan dengan faktor sistem politik dan kebudayaan. Penyebab ketidakberdayaan lebih dilihat sebagai faktor di luar manusia (natural / supra natural). Dalam perspektif Freirean, konsep pendidikan disini disebut pendidikan fatalis. Karena murid secara dogmatis menerima “kebenaran” dari guru tanpa ada mekanisme untuk memahami makna ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Kedua, kesadaran naïf (naival consciousness). Pada tingkat kesadaran ini, aspek manusia lebih dilihat sebagai akar penyebab masalah masyarakat, tidak ada kaitannya dengan sistem atau struktur yang ada. Sistem dan struktur yang ada bahkan dianggapnya sudah baik dan benar, sudah “given”, jadi tak perlu dipertanyakan. Pendidikan disini kemudian bertugas membuat dan mengarahkan agar anak didiknya menjadi dapat beradaptasi dengan sistem “yang benar” tersebut.
Ketiga, kesadaran kritis (critical consciousness). Melihat lebih kepada aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Menghindari blaming the victims (menyalahkan manusia yang justru menjadi korban sistem). Maka pendidikan baginya adalah proses untuk melatih murid agar mampu mengidentifikasi ketidakadilan dari sistem dan struktur yang ada, menganalisis mekanisme kerjanya, serta berusaha merumuskan bagaimana mentransformasikannya menjadi tata kehidupan yang lebih adil.
Teori penting lainnya dari Paulo Freire tentang pendidikan adalah ulasannya tentang humanisasi. Baginya, humanisasi atau menjadi manusia sejati atau otentik, adalah fitrah ontologis manusia. Penyimpangan atau pengingkaran atas hal itu adalah dehumanisasi. Dari analisis demikian, pendidikan baginya kemudian dimaknai sebagai “proses memanusiakan manusia kembali.” Atau dengan kata lain, membebaskan manusia dari keadaan dehumanisasi yang telah menindas dan merenggut kemanusiaannya, yang membuatnya teralienasi dan menjadi sekedar obyek dari proses sejarah kehidupannya sendiri. Pendidikan menurutnya harus menjadi praktek pembebasan yang membawa kepada kesadaran untuk menjadi subyek atau pelaku yang bertanggung jawab.
Persoalannya kemudian, dikatakan olehnya bahwa kaum tertindas mengidap sikap mendua yang tumbuh di dalam diri mereka yang paling dalam. Kemenduaan timbul karena “mengada” bagi mereka berarti “mengada seperti”, yaitu seperti para penindasnya yang citra dirinya telah mereka internalisasi. Internalisasi tersebut menyebabkan kaum tertindas menyesuaikan diri dengan jalan pikiran mereka dan itu berarti para penindas kemudian menjadi identik dengan diri mereka (kaum tertindas) sendiri. Sehingga ketika diajukan pendidikan pembebasan ada semacam rasa “takut kebebasan”, karena itu berarti menolak sebagian dirinya sendiri. Padahal kebebasan menghendaki mereka menolak citra diri semacam itu –citra diri yang menyebabkan mereka menjadi manusia terbelah dan karenanya tidak otentik–, untuk menggantinya dengan perasaan bebas (otonomi) serta tanggung jawab sebagai layaknya manusia sejati, manusia otentik.
Sebuah pernyataan tentang realitas yang cukup ironik sempat dikemukakan oleh M. Amin Abdullah, “Guru-guru agama sebagai ujung tombak pendidikan agama, dari TK sampai perguruan tinggi, nyaris tidak tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antarumat beragama selama hampir 30 tahun terakhir.” Sebagai implikasinya antara lain “dalam mindset (pemikiran) mereka, pada umumnya, masih terpanggil untuk mengajarkan agama dengan materi, cara dan metode yang sama dengan asumsi dasar, keyakinan dan praanggapan-praanggapan mereka bahwa anak didik masyarakat dan umat di luar pagar sekolah seolah-olah hidup dalam komunitas yang homogen, dan bukannya heterogen, secara keagamaan.”
William Stern, seorang psikolog Jerman, berpendapat bahwa pembawaan (heredity) dan lingkungan (environment) kedua-duanya adalah faktor yang menentukan perkembangan manusia. Teori ini seolah menjadi sintesa antara pesimisme pedagogis dan optimisme pedagogis. Pesimisme pedagogis berpendapat bahwa segala perkembangan telah ditentukan oleh faktor-faktor pembawaan lahir (nativisme), atau yang senada dengan itu adalah pendapat yang percaya bahwa tiap manusia terlahir baik, maka harus diberikan kepada alam untuk dididik, sebab jika diserahkan kepada manusia hanya kerusakan yang akan terjadi (naturalisme). Yang kedua, optimisme pedagogis, berpendapat bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh faktor lingkungan pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil (empirisme).
Dalam konteks ini M. Ngalim Purwanto memberi penjelasan lebih lanjut mengenai esensi teori William Stern ini. Ia mengatakan :
“Perkembangan manusia bukan hasil belaka dari pembawaannya dan lingkungannya. Manusia tidak hanya diperkembangkan tetapi ia memperkembangkan dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk yang dapat dan sanggup memilih dan menentukan sesuatu yang mengenai dirinya dengan bebas. Karena itulah ia bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya; ia dapat juga mengambil keputusan yang berlainan daripada apa yang pernah diambilnya.”
Selanjutnya ia mengemukakan sebuah simpulan bahwa “Jalan perkembangan manusia sedikit banyak ditentukan oleh pembawaan yang turun-temurun yang oleh aktivitas dan pemilihan atau penentuan manusia sendiri yang dilakukannya dengan bebas di bawah pengaruh faktor-faktor lingkungan yang tertentu berkembang menjadi sifat-sifat.”
Dikemukakan Jalaluddin bahwa dalam pandangan Konvergensi, kemampuan seseorang dapat berjalan dengan baik dan berkembang maksimal jika ada perpaduan antara faktor dasar (potensi), faktor ajar (bimbingan) dan kesadaran dari individu sendiri untuk mengembangkan dirinya (faktor intrinsik, kemauan). Dalam filsafat pendidikan Islam, hubungan manusia dengan pendidikan diletakkan atas dasar prinsip penciptaan, peran dan tanggung jawab.
Noeng Muhadjir menyimpulkan bahwa pendidikan mempunyai 3 (tiga) fungsi utama, yaitu : (1) menumbuhkan kreativitas subyek-didik; (2) memperkaya khasanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan nilai-nilai Ilahi; dan (3) menyiapkan tenaga kerja produktif. Sementara rumusan lain yang relatif melengkapi dikemukakan oleh Cordero et.al., bahwa fungsi pendidikan masyarakat adalah : (1) Menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi berikutnya. Disini lembaga pendidikan merefleksikan nilai-nilai dominan suatu masyarakat; (2) Sekolah adalah agen sosialisasi yang utama. Disana ditanamkan nilai, norma serta harapan-harapan dari masyarakat terhadap seseorang; (3) Sekolah adalah tempat dimana orang mempelajari “prinsip-prinsip” yang akan mendasari perilakunya sebagai warga masyarakat.
Dari beberapa rumusan tersebut dapat dipahami betapa pendidikan mempunyai fungsi vital dalam mengarahkan sekaligus membentuk pola kehidupan manusia dan masyarakatnya.

Pendidikan di Zaman Hindu-Budha
5 02 2007
Pembahasan sejarah Hindu-Budha di Indonesia akrab diawali dari kemunculan beberapa kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: Kerajaan Hindu di Kutei (Kalimantan) dengan rajanya Mulawarman, putra Aswawarman atau cucu Kundung(ga). Di Jawa Barat muncul Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman. Pada masa itu, eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria – Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian pula dalam epik Ramayana eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa. Ptolomeus juga sempat menyebut tentang Barousai (merujuk pada pantai barat Sumatera Utara; Sriwijaya). Fa-Hien (pengembara asal China) dalam perjalanannya dari India singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang menurutnya telah banyak para brahmana (Hindu) tinggal di sana. Maka tidak berlebihan jika Lee Kam Hing kemudian menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia sejak periode permulaan. Pada masa itu, pendidikan lekat terkait dengan agama.
Menurut catatan I-Ching, seorang peziarah dari China, ketika melewati Sumatera pada abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di dalamnya berdiam para cendekiawan yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut tidak saja menjadi pusat transmisi etika dan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga seni dan ilmu pengetahuan. Lebih dari seribu biksu Budha yang tinggal di Sriwijaya itu dikatakan oleh I-Ching menyebarkan ajaran seperti yang juga dikembangkan sejawatnya di Madhyadesa (India). Bahkan, di antara para guru di Sriwijaya tersebut sangat terkenal dan mempunyai reputasi internasional, seperti Sakyakirti dan Dharmapala. Sementara dari pulau Jawa muncul nama Djnanabhadra. Pada masa itu, para peziarah Budha asal China yang hendak ke tanah suci India, dalam perjalanannya kerap singgah dulu di nusantara ini untuk melakukan studi pendahuluan dan persiapan lainnya.
Sejarah agama Hindu-Budha di Indonesia berbeda dengan sejarahnya di India. Disini, kedua agama tersebut dapat tumbuh berdampingan dan harmonis. Bahkan ada kecenderungan syncretism antara keduanya dengan upaya memadukan figur Syiwa dan Budha sebagai satu sumber yang Maha Tinggi. Sebagaimana tercermin dari satu bait syair Sotasoma karya Mpu Tantular pada zaman Majapahit “Bhinneka Tunggal Ika”, yakni dewa-dewa yang ada dapat dibedakan (bhinna), tetapi itu (ika) sejatinya adalah satu (tunggal). Sekalipun demikian, patut diketahui sempat adanya sejarah konflik politik antar kerajaan yang berbeda agama pada masa-masa permulaannya.
Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dalam perkembangannya, kebudayaan Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan Hindu terakhir runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya tetap berkembang khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit, ibid), Sotasoma karya Mpu Tantular, dan Pararaton (Epik sejak berdirinya Kediri hingga Majapahit).
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa: (1) Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi; (2) Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain; (3) Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu; (4) Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-masing.
Pendidikan di Zaman Permulaan Islam
5 02 2007
Sejak abad ke-7 M, lalu lintas perdagangan laut internasional yang melewati wilayah nusantara sudah ramai (dikenal sebagai jalur perdagangan “Po-ssu” atau Persia). Daerah-daerah pesisir yang kala itu merupakan vassal (bawahan) dari kerajaan inti yang terletak di pedalaman, menjadi tempat persinggahan yang menarik bagi para pedagang dari banyak negeri seberang seperti Arab, Persia dan India. Nilai-nilai baru yang dibawa para pedagang muslim semisal dari Gujarat diterima hangat oleh raja-raja pesisir. Sebagaimana kemudian tercatat bahwa kerajaan-kerajaan Islam permulaan di Indonesia muncul di daerah pesisir seperti kerajaan Perlak (1292) dan kerajaan Samudera Pasai (1297). Dari sini pula dapat terbaca bahwa penyebaran Islam di Indonesia bermula dari pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir Sumatera Utara (jalur Selat Malaka) baru kemudian menyebar ke Jawa dan seterusnya ke wilayah Timur Indonesia.
Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan. Da’wah bil hal atau keteladanan pada konteks ini mempunyai pengaruh besar dalam menarik perhatian dan minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran Islam. Selanjutnya, ketika agama ini kian berkembang, di tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar atau masjid. Fasilitas tersebut bukan hanya sebagai tempat shalat saja, melainkan juga tempat untuk belajar membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya. Metode pembelajaran adalah sorogan (murid secara perorangan atau bergantian belajar kepada guru) dan halaqah atau wetonan (guru mengajar sekelompok murid yang duduk mengitarinya secara kolektif atau bersama-sama). Mereka yang kemudian berkeinginan melanjutkan pendidikannya setelah memperoleh bekal cukup dari langgar/masjid di kampungnya, dapat masuk ke pondok pesantren. Secara tradisional, sebuah pesantren identik dengan kyai (guru/pengasuh), santri (murid), masjid, pemondokan (asrama) dan kitab kuning (referensi atau diktat ajar). Sistem pembelajaran relatif serupa dengan sistem di langgar/masjid, hanya saja materinya kini kian berbobot dan beragam, seperti bahasa dan sastra Arab, tafsir, hadits, fikih, ilmu kalam, tasawuf, tarikh dan lainnya. Di pesantren, seorang santri memang dididik agar dapat menjadi seorang yang pandai (alim) di bidang agama Islam dan selanjutnya dapat menjadi pendakwah atau guru di tengah-tengah masyarakatnya.
Ketika kekuasaan politik Islam semakin kokoh dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, pendidikan semakin beroleh perhatian. Contoh paling menarik untuk disebutkan adalah sistem pendidikan Islam yang tampak telah terstruktur dan berjenjang di kerajaan Aceh Darussalam (1511-1874). Secara formal, kerajaan ini membentuk beberapa lembaga yang membidangi masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu: (1) Balai Seutia Hukama (lembaga ilmu pengetahuan); (2) Balai Seutia Ulama (jawatan pendidikan dan pengajaran); (3) Balai Jamaah Himpunan Ulama (kelompok studi para ulama dan sarjana pemerhati pendidikan). Adapun jenjang pendidikannya dapat disebutkan sebagai berikut: (1) Meunasah (madrasah), berada di tiap kampung. Disini diajarkan materi elementer seperti: menulis dan membaca huruf hijaiyah, dasar-dasar agama, akhlak, sejarah Islam dan bahasa Jawi/Melayu; (2) Rangkang (setingkat MTs), berada di setiap mukim. Disini diajarkan Bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung (hisab), akhlak, fikih dan lain-lain; (3) Dayah (setingkat MA), berada di setiap ulebalang. Materi pelajarannya meliputi: fikih, Bahasa Arab, tawhid, tasawuf/akhlak, ilmu bumi, sejarah/tata negara, ilmu pasti dan faraid; (4) Dayah Teuku Cik (setingkat perguruan tinggi atau akademi), yang di samping mengajarkan materi-materi serupa dengan Dayah tetapi bobotnya berbeda, diajarkan pula ilmu mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Sultan Mahdum Alauddin Muhammad Amin ketika memerintah kerajaan Perlak (1243-1267 M) disebutkan pernah mendirikan majelis ta’lim tinggi, semacam lembaga pendidikan tinggi yang dihadiri oleh para murid yang sudah mendalam ilmunya untuk mengkaji beberapa kitab besar semacam al-Umm karangan Imam Syafi’i. Pembiayaan pendidikan pada masa- tersebut berasal dari kerajaan. Tetapi perlu dicatat disini bahwa hal ini sangat tergantung pada kondisi kerajaan dan faktor siapa yang sedang menjadi raja.
Ketika era penjajahan dimulai, pendidikan Islam tetap masih dapat berlangsung secara tradisional melalui peran para guru agama baik yang berbasis di langgar atau masjid maupun yang berada di pesantren-pesantren dan madrasah. Sejarah kemudian mencatat bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam ini memberi kontribusi besar dalam kontinuitas proses islamisasi nusantara dan sekaligus membangun kesadaran dan kekuatan resistensi kultural dan politik terhadap penjajahan asing. Pasca konferensi organisasi muslim Indonesia yang mengelola pendidikan pada tahun 1936 di Padang Panjang, disepakati suatu standar umum dari sistem pendidikan Islam ketika itu, yakni: (1) Madrasah Awaliyah 3 tahun; (2) Madrasah Ibtidaiyah 4 tahun; (3) Madrasah Tsanawiyah 3 tahun; (4) Madrasah Muallimin (sekolah guru) 3 tahun; dan (5) Madrasah Islam Tinggi.
Secara umum, pendidikan Islam di masa pra kemerdekaan ini dapat diikhtisarkan mengambil bentuk sebagai berikut: (1) Langgar. Dikelola seorang amil, modin atau lebai yang berfungsi sebagai guru agama sekaligus pemimpin ritual keagamaan di masyarakat. Materi ajar bersifat elementer. Metode pembelajaran sorogan dan halaqah. Tidak ada biaya formal, seringkali hanya berupa pemberian ‘in natura’. Hubungan guru-murid umumnya mendalam dan langgeng. (2) Pesantren. Murid diasramakan di pondok yang dibangun oleh sang guru atau dengan biaya swadaya masyarakat setempat. Ada properti tanah yang dapat dikelola bersama oleh guru dan murid untuk mendanai proses pendidikan. Kekurangan biaya terkadang memaksa santri mencari dana keluar, meminta sumbangan dari umat Islam secara sukarela. Jumlah murid relatif, ada yang banyak ada juga yang sedikit. Tidak ada batasan atau penjenjangan pendidikan yang tegas. Guru tidak digaji secara formal. Murid memberi layanan kepada guru sebagai ganti biaya pendidikan seperi ikut mengelola tanah atau usaha lain milik guru. (3) Madrasah. Pola pendidikan teratur dan berjenjang. Guru menerima imbalan tunai secara tetap. Metode menjadi bersifat klasikal. Pengetahuan umum diajarkan di samping materi-materi ilmu agama.
Pendidikan di Zaman Kolonial Portugis
5 02 2007
Penjelajahan bangsa Portugis, seperti disebutkan B. Schrieke, hingga sampai ke Indonesia kiranya tidak dapat dilepaskan dari sejarah perbenturan antara dunia Islam – dunia Barat sejak abad pertengahan dan juga dukungan kemajuan bidang militer dan kemaritiman mereka. Beberapa peristiwa penting yang lekat dalam ingatan yang melatari hal ini antara lain: (1) Konsili Clermont tahun 1095 M dimana Paus Urbanus II mendeklarasikan Perang Salib melawan dunia Islam; (2) Konstantinopel, pusat imperium Bizantium, direbut Sultan Muhammad II tahun 1453 M; (3) Bulla Paus berjudul Romanus Pontifex tertanggal 8 Januari 1455 M yang berisi pernyataan menghadiahkan Afrika untuk dikristenkan oleh Portugis; (4) Kota Granada lepas dari kekuasaan Islam tahun 1492 M; (5) Bulla Paus berjudul Inter Caetera Divinae tahun 1493 M membagi dunia menjadi dua bagian, masing-masing untuk Portugis dan Spanyol; (6) Perjanjian Tordesillas tanggal 7 Juni 1494 M, menguatkan Bulla Paus tahun 1493 M, memberi hak istimewa kepada dua bangsa tersebut untuk melakukan conquistadores (penaklukan).
Portugis pertama kali singgah di Malaka tahun 1509 M setelah sebelumnya menaklukkan kerajaan Goa di India. Ini berarti Portugis hadir di Indonesia hampir satu dekade setelah Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak di pulau Jawa. Tahun 1511 M Malaka sudah dapat dikuasai oleh Portugis di bawah Afonso de Albuquerqe (1459-1515 M). Dua tahun kemudian, Pati Unus putra Raden Patah memimpin armada menyerang kekuasaan Portugis di Malaka, tetapi berakhir dengan kegagalan. Berikutnya Portugis bergerak untuk menguasai daerah rempah-rempah yang berpusat di Maluku (berasal dari istilah bahasa Arab: Jazirat al-Mulk, yakni kepulauan raja-raja). Ketika Portugis menjejakkan kakinya di Maluku, seperti diutarakan oleh Russell Jones, Islam telah mengakar di kalangan penduduk setempat sekitar 80 tahun. Di daerah ini khususnya Ambon, melalui peran ordo Jesuit hingga tahun 1560 M, tercatat ada sekitar 10.000 orang yang memeluk Roma Katholik dan bertambah menjadi 50.000 hingga 60.000 pada tahun 1590 M. Sementara ordo Dominikan mampu mengkonversikan kedalam agama Roma Katholik sekitar 25.000 orang di kepulauan Solor. Dari catatan Ismatu Ropi, Katholik Roma ini merupakan fase kedua masuknya Kristen ke Indonesia melalui jasa ordo Jesuit di bawah payung organisasi Society of Jesus dan ordo Dominikan yang turut hadir bersama armada Portugis. Fase pertama adalah masuknya Gereja Timur Nestorian yang ditengarai sempat muncul di Sibolga Sumatera Utara sekitar abad ke-16 juga. Sedangkan fase ketiga adalah Kristen Protestan yang muncul bersamaan dengan armada pelayaran Belanda.
Praksis pendidikan pada masa Portugis ini secara mendasar dikerjakan oleh organisasi misi Katholik Roma. Baru pada tahun 1536, di bawah Antonio Galvano, penguasa Portugis di Maluku, didirikan sekolah seminari yang menerima anak-anak pemuka pribumi. Selain pelajaran agama, mereka juga diajari membaca, menulis dan berhitung. Sekolah sejenis dibuka di Solor dimana bahasa Latin juga diajarkan kepada murid-muridnya. Mereka yang berkeinginan melanjutkan pendidikan dapat pergi ke Goa – India yang ketika itu merupakan pusat kekuatan Portugis di Asia. Perkembangan pendidikan di zaman Portugis ini dapat dinyatakan berpusat di Maluku dan sekitarnya, sebab di daerah-daerah lain kekuasaan Portugis kurang begitu mengakar.
Pendidikan di Zaman Penjajahan Belanda
5 02 2007
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas, mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi.
Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunanu dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5) Sekolah Cina
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.
Era ini sesungguhnya telah beroleh pengaruh dari faham gerakan Aufklarung (pencerahan) yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya menyebutkan tentang penghargaan terhadap nalar, kebebasan spiritual serta sekularisasi agama dan negara. Implikasi logis dari hal ini salah satunya adalah penyerahan pengelolaan pendidikan kepada negara, bukan lagi kepada lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon. Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi. Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris. Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles. Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia. Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892).
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.
Pendidikan di Zaman Pendudukan Jepang
5 02 2007
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
DINAMIKA FORMULASI CITA-CITA PENDIDIKAN NASIONAL
5 02 2007
Badan Pekerja KNIP mengusulkan pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (29 Desember 1945): (1) Perlu ada perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Yang paling mendasar adalah mengubah faham individualisme menjadi faham kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi. (2) Demi persatuan dan keadilan sosial, sekolah harus dibuka untuk segala lapisan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. (3) Sistem pendidikan perlu berorientasi vokasi, leadership dan pemberantasan buta huruf. (4) Pendidikan agama perlu diberi perhatian seksama dengan asas kemerdekaan beragama. Adapun madrasah dan pesantren sangat perlu mendapat perhatian dan bantuan nyata dari pemerintah. (5) Pengembangan optimal pendidikan tinggi termasuk memanfaatkan bantuan guru besar asing dan pengiriman mahasiswa untuk studi ke luar negeri. (6) Wajib belajar 6 tahun yang diharapkan telah merata dalam jangka waktu satu dekade (10 tahun). (7) Pendidikan teknik dan ekonomi khususnya pertanian, industri, pelayaran dan perikanan perlu mendapat perhatian istimewa. (8) Pendidikan kesehatan dan olahraga hendaknya dilaksanakan secara teratur. (9) Pendidikan gratis bagi siswa Sekolah Rakyat. Sedangkan bagi siswa Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi diupayakan pengaturan pembiayaan dan tunjangan yang luas agar dapat membantu akses bagi mereka yang kurang mampu.
Usulan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Mendikjar (Dr. Mr. T.S.G. Mulia) dengan membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara dengan penulis Soegarda Poerbakawatja. Salah satu hasil Panitia Penyelidik Pengajaran ini adalah rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Mendidik warga negara yang sejati, sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk warga negara dan masyarakat.” Pengertian “warga yang sejati” itu kemudian dijabarkan sifat-sifatnya dalam pedoman bagi guru-guru yang dikeluarkan oleh Kementerian PP dan K pada tahun 1946, yaitu: (1) Berbakti kepada Tuhan YME. (2) Cinta kepada alam. (3) Cinta kepada negara. (4) Cinta dan hormat kepada ibu-bapak. (5) Cinta kepada bangsa dan kebudayaan. (6) Keterpanggilan untuk memajukan negara sesuai kemampuannya. (7) Memiliki kesadaran sebagai bagian integral dari keluarga dan masyarakat. (8) Patuh pada peraturan dan ketertiban. (9) Mengembangkan kepercayaan diri dan sikap saling hormati atas dasar keadilan. (10) Rajin bekerja, kompeten dan jujur baik dalam pikiran maupun tindakan.
Formulasi cita-cita ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu lebih menekankan pada aspek penanaman semangat patriotisme.
Pada bulan Desember 1949, terjadi perubahan ketatanegaraan dimana UUD 1945 diganti dengan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat. Meski landasan idiil (yaitu Pancasila) tidak berubah, tetapi formulasi tujuan pendidikan mengalami perubahan. Hal ini tampak dalam UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang disahkan oleh Presiden RI (Mr. Assaat) dan Mendikjar RI (S. Mangunsarkoro), yaitu: “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Rumusan tujuan pendidikan ini kemudian dituangkan kembali dalam UU No. 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang sesungguhnya merupakan pemberlakuan kembali UU No. 4 tahun 1950 untuk seluruh wilayah RI. Formulasi cita-cita ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu telah mengadaptasi pemikiran demokrasi yang tengah berkembang sehingga sifat-sifat ini pula yang ditanamkan kepada generasi mudanya.
Tujuan pendidikan nasional kembali mengalami perubahan ketika politik negara dikendalikan faham Manipol-Usdek di bawah pimpinan Bung Karno sejak 1959. Dalam Kepres RI No. 145 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila disebutkan bahwa: “Tujuan Pendidikan Nasional kita baik yang diselenggarakan oleh pihak Pemerintah maupun oleh pihak Swasta, dari Pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila, yaitu: (a) Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, (b) Perikemanusiaan yang adil dan beradab, (c) Kebangsaan, (d) Kerakyatan, (e) Keadilan Sosial, seperti dijelaskan dalam Manipol/Usdek.” Formulasi ini ternyata tidak bertahan lama karena peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 yang menyadarkan rakyat tentang motif politik PKI di balik cita-cita pendidikan tersebut. Selanjutnya, pada masa Orde Baru melalui Ketetapan MPRS RI No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah: “Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.”
Pada tahun 1973, MPR hasil pemilu mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 yang dikenal dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang di dalamnya menyebutkan rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.” Tujuan ini kemudian mengalami reformulasi kembali dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.”
Demikianlah, melalui beberapa ilustrasi formulasi tujuan pendidikan dalam sejarah Indonesia dapat dipahami bahwa dinamika yang terjadi di dunia pendidikan nasional kita sangat erat terkait dengan dinamika politik, ekonomi, serta sosio-kultural masyarakat. Pendidikan memang diakui sebagai wahana pencerdasan dan pembudayaan masyarakat, tetapi bagaimanapun juga, di samping faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan-kepentingan politik maupun ekonomi senantiasa saja menjadi pertimbangan yang memberi warna dan corak bagi perkembangan pendidikan yang ada.
Coba perhatikan formulasi cita-cita pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berikut ini:
Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional
(Pasal 3).
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4).
Guru dalam UU No.14 Th. 2005
5 02 2007
Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.
Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga professional.
Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk financial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru dalam bentuk financial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik professional.
Kedudukan guru sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas. (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan. (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat. (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kualifikasi akademik guru diperoleh melalui pendidikan program sarjana atau program diploma empat.
Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: (a) merencakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. (b) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (c) bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; (d) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan (e) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai guru karena : (a) meninggal dunia; (b) mencapai batas usia pension (60 tahun); (c) atas permintaan sendiri; (d) sakit jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat melaksanakan tugas secara terus menerus selama 12 (dua belas) bulan; atau (e) berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan.
Guru dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena : (a) melanggar sumpah dan janji jabatan; (b) melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; (c) melalaikan kewajiban dalam melaksanakan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus menerus.
Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.
Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan : (a) menetapkan dan menegakkan kode etik guru; (b) memberikan bantuan hukum kepada guru; (c) memberikan perlindungan profesi guru; (d) melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan (e) memajukan pendidikan nasional.
Dewan kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi guru.
Dewan kehormatan guru dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru.
Sanksi terhadap guru berupa : (a) teguran; (b) peringatan tertulis; (c) penundaan pemberian hak guru; (d) penurunan pangkat; (e) pemberhentian dengan hormat; atau (f) pemberhentian tidak dengan hormat.
Guru yang dikenai sanksi mempunyai hak membela diri.
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional mempunyai misi melaksanakan tujuan UU, yaitu:
1. mengangkat martabat guru
2. menjamin hak dan kewajiban guru
3. meningkatkan kompetensi guru
4. memajukan profesi serta karir guru
5. meningkatkan mutu pembelajaran
6. meningkatkan mutu pendidikan nasional
7. mengurangi kesenjangan ketersediaan duru antardaerah dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi;
8. mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah;
9. meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.
Guru sebagai tenaga professional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) dimaksudkan bahwa peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.
Kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesame guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

1 komentar:

  1. seharus nya pemerintah mengatur undang-undang pendidikan lebih mengutamakan pendidikan agama dalam moral agartercipta pendidikan yg buakn hanya pintar tapi beriaman

    BalasHapus